Senin, 21 Februari 2011

"Khotbah Minggu 20 Feb 2011

Lukas 17:7-10
Dalam perjalanan Tuhan Yesus; menuju Yerusalem guna menggenapkan karya keselamatan dengan mati di atas kayu salib, Lukas mencatat periode ini di Lukas 9-19, yang berisi nasihat-nasihat dan pengajaran-pengajaran Tuhan Yesus, baik itu kepada orang banyak yang mendengarkan ajaran-ajaran Tuhan Yesus, maupun kepada ahli-ahli Taurat, orang-orang Farisi, yang notabene adalah pemimpin-pemimpin agama pada waktu itu.
Tetapi secara khusus Tuhan Yesus dalam periode ini juga menasihati, mengajar murid-murid-Nya. Dan perumpamaan tentang tuan dan hamba yang dalam versi yang lain biasa dikenal
dengan judul “Hamba yang Tidak Berguna,” unprofitable servant, oleh LAI diberi judul : “Tuan dan Hamba.” Dalam sederetan perumpamaan yang hampir kira-kira 20 perumpamaan dalam periode ini, Tuhan Yesus mau berbicara secara spesifik bagaimana sikap—attitude dari murid-murid Tuhan Yesus dalam menghadapi pelayanan mereka. Jika kita membaca beberapa ayat sebelumnya karena kita akan mendapati bahwa paling tidak latar belakang Tuhan Yesus dalam menyebutkan perumpamaan ini adalah dengan satu tanda awas terlebih dahulu. “Hey! Muridmuridku/para Pelayan…! Pnt dan Pdt hati-hatilah, jangan kehidupanmu menjadi batu sandungan, lebih-lebih lagi jangan sampai jadi penyesat.”
Pada gilirannya Tuhan Yesus secara positif kemudian mengatakan supaya mereka mempunyai suatu sikap, suatu kelapangan hati yang dapat menerima sesama saudara, yang dapat menerima orang lain dalam suatu pengampunan. Dengan kata lain, di dalam relasi dengan sesama saudara harus ada suatu kerinduan agar saudara kita bertobat dan kita menerima saudara kita yang kita kasihi itu. Tuhan Yesus kemudian melanjutkan dengan mengatakan bahwa di dalam proses agar tidak menjadi batu sandungan ini, di dalam pelayanan yang bisa mengampuni dan bisa menerima itu, janganlah kamu bangga bahwa kamu mempunyai iman dan pernyataan iman, yang bisa berkata: “tambahkanlah iman kami,” karena masalahnya bukan soal besar atau kecil iman itu. Tetapi persoalan yang Tuhan Yesus bicarakan di sini adalah manifestasi praktisnya dari iman yang dinyatakan para murid. Kita ketahui bersama bahwa begitu mudah dan gampangnya kita mengaku dan menyebutkan pernyataan iman kita, begitu mudahnya kita menandatangani pengakuan iman kita, begitu mudahnya kita mengumandangkan iman kita, tetapi pada saat yang sama kehidupan kita bertentangan dengan pernyataan iman yang kita nyatakan ataupun yang kita beritakan.
HAMBA YANG SEJATI
-Seorang hamba harus taat kepada tuannya, dan melakukan apapun yang dikatakan oleh tuannya, hamba yang sejati adalah hamba yang tahu menyenangkan hati tuannya.
Dalam ayat ini dikatakan bahwa kita adalah hamba-hamba yang tidak berguna yang melakukan apa yang harus kita lakukan artinya kita adalah orang-orang yang dipanggil Tuhan secara khusus dan diberi kepercayaan untuk melayani Dia. Menjalankan kepercayaan Tuhan berarti ada usaha dan Tuhan memang lebih tertarik dengan usaha kita daripada hasilnya, dan bagaimana kita menjalankan kepercayaan itu yaitu dengan motivasi yang benar. Melakukan apa yang harus dilakukan adalah melakukan semua kehendak Tuhan.
Ada empat karakter Hamba yang Sejati :
1. Fokus menyenangkan hati tuannya (Amsal 19:20-22).
Menyenangkan hati tuannya dengan kesetiaan.
Lukas 17:7-10, Hamba yang rendah hati, yang tidak pernah bersungut-sungut melakukan tugasnya.
Filipi 2:6-9, hamba yang menanggalkan haknya dan taat sampai mati (seperti Yesus yang sudah mati dan melayani untuk kita). Kita harus semakin berkurang dan Yesus bertambah-tambah.
2. Berpikir sebagai penata layanan, bukan pemilik
Matius 24:45-51, Allah bukan owner, tapi Allah adalah pemilik (empunya) dan kita adalah pengelola. Karena itu jangan terikat dengan jabatan atau terikat dengan dunia...!!
Kejadian 34:20-21, Yusuf tak kehilangan sukacita walaupun dipenjara, Tuhan melihat kesetiaan Yusuf dan Tuhanpun mengangkat Yusuf.
Biarlah Tuhan yang mengangkat kita, jangan kita mengangkat diri sendiri (jangan sombong).
3. Berpikir tentang memaksimalkan pekerjaan kita
Matius 7:1-3, jangan menghakimi pekerjaan orang lain atau jangan mengukur pekerjaan orang lain, tetapi lakukanlah bagian kita dengan benar maka Tuhan pun akan melakukan bagianNya.
4. Menyadari bahwa Pelayanan adalah kesempatan yang berharga bukan beban
Lukas 19:29-38, jangan membanggakan diri kalau dipakai Tuhan, miliki hati yang senang menolong dan berkorban.
Contoh : Paulus yang tidak punya waktu untuk diam, tapi terus melayani
Hamba identik dengan pengorbanan dan Yesus adalah teladan bagi kita bagaimana memiliki karakter hamba yang sejati, ketika kita menyadari bahwa kita adalah Hamba berarti kita melakukan apapun yang Tuhan kehendaki meskipun itu dengan menanggalkan hak-hak kita. Percayalah bahwa pengorbanan kita tidak sia-sia.

Jadilah pelayan yang ber hati Hamba....AMIN
” ...Kami adalah hamba-hamba yang tidak berguna, kami hanya melakukan apa yang harus kami lakukan."
( Lukas 17:10 )

Apakah ada sesuatu yang menurut sdr harus sdr lakukan di dalam kehidupan ini? Ada orang yang merasa harus menyelamatkan lingkungan hidup. Orang lain lagi merasa harus bekerja keras supaya sukses. Ada juga orang yang merasa harus menghalang-halangi orang lain membangun tempat ibadah mereka. Tentu saja, pertanyaan selanjutnya: Mengapa harus? Siapa yang mengharuskan?
Yesus mengajarkan spiritualitas kehambaan kepada orang banyak agar mereka bisa memahami relasi mereka dengan Tuhan dan sesama. Mengapa spiritualitas seorang hamba dan bukan seorang tuan? Karena di hadapan Tuhan, umat manusia adalah hamba yang harus melaksanakan kehendak tuannya. Harus berarti wajib, tidak bisa tidak, tidak ada tawar menawar! Tuhan memberikan tugas kepada manusia, manusia harus melakukan tugas yang diberikan Tuhan kepadanya tersebut. Dalam spiritualitas kehambaan, seorang hamba harus senantiasa siap sedia melakukan tugas yang diberikan tuannya tanpa kenal lelah. Seorang hamba juga tidak perlu mengharapkan pujian, ucapan terima kasih dan imbalan jasa dari tuannya. Seorang hamba bahkan juga perlu menegaskan di hadapan tuannya apa yang telah diperbuatnya untuk tuannya sebenarnya tidaklah berarti apa-apa. Spiritualitas kehambaan seperti inilah yang dilakukan Yesus melalui kematian-Nya di kayu salib. Yesus, Sang Putra telah menempatkan diri sebagai Hamba yang harus melakukan tugas yang diberikan Bapa-Nya untuk mewujudkan keselamatan bagi manusia.
Sakramen Perjamuan Kudus senantiasa menyimpan kenangan spiritualitas kehambaan Yesus bagi keselamatan manusia. Yesus telah melakukan apa yang harus Ia lakukan untuk menyelamatkan umat manusia. Mari kita bertanya pada diri kita sendiri: Apa yang harus aku lakukan supaya kehidupanku, keluargaku, gerejaku, masyarakatku, bangsaku dan bumiku ini menjadi semakin lebih baik? Amin.

"Membangun Kehidupan yang Inklusif di tengah-tengah Bangsa."



Roma 13: 8-10
KASIH ADALAH SESUATU YANG TIDAK HANYA DIDIFINISIKAN.NAMUN KASIH HARUS DIWUJUDNYATAKAN. ORANG YANG HANYA BERTEORI TENTANG KASIH ADALAH PEMBUAL BESAR. TETAPI ORANG YANG MEREALISASIKAN KASIH ADALAH ORANG YANG BERPENGARUH BESAR DALAM KEHIDUPANNYA
PENGANTAR
Damai dan kedamaian adalah kebutuhan tertinggi dari jiwa manusia. Kebutuhan ini mendorong setiap orang untuk mengusahakannya. Dalam upaya menggapai kedamaian ekonomi, orang bekerja keras untuk memenuhi kebutuhannya. Sebagai upaya melindungi kedamaian sosial, orang mengupayakan ketentuan budaya (adat istiadat) yang menjaga hubungan-hubungan. Mewujudkan tanggungjawab menjaga kedamaian dan ketenteraman sipil, masyarakat, negara dan pemerintah menegakkan hukum.
Albert Camus, menggambarkan hidup penuh konflik seperti mitos Yunani Le Mythe de Sisyphe, kegigihan Sisyphus yang terus menerus mendorong batu kepuncak gunung dengan tersenyum dan habis-habisan, setiap kali batu itu didorong, menggelinding lagi ke bawah. Sampai akhirnya dapat membawa kepuncak. Analogi perjuangan Sisyphus, merupakan suatu upaya yang dilakukan secara tulus, gigih dan tanpa henti untuk memenaj kehidupan yang penuh konflik untuk mewujudkan perdamaian.
Mengikuti cara kerja Albert Camus, para tokoh agama, dan sebagai pemimpin gereja sudah seharusnya kita aktif menggerakkan lintas agama dari sejak dini, kita harus menjadi pioner dalam membangun kesadaran bersama (commond goods) baik secara individu maupun kolektif.
Secara individual, masing-masing harus memiliki kesadaran bahwa ada perbedaan diantara kita. Kesadaran bahwa kita beda, lalu diteruskan melalui dialog lewat kohesi sosial untuk bisa saling memberi dan saling menerima dalam kesetaraan. Lewat kesadaran individual masing-masing kita mencoba untuk mencari dan merumuskan kesepakatan-kesepakatan sosial tanpa harus kehilangan jati diri, karakteristik masing-masing. Ego dan super ego untuk selalu berkuasa akan terakomudasi melalui kesepakatan sosial yang terbangun dalam bentuk commond goods.
Secara kolektif, secara terus menerus membangun komitment persatuan dan kesatuan dan persaudaraan dengan menumbuhkan rasa saling percaya, rasa memiliki dan rasa kita adalah bersaudara, sehingga tidak ada dusta diantara kita. Merevitalisasi nilai kearifan lokal masih relavan untuk dikembangkan, membangun kohesi sosial, solideritas sosial, kepedulian sosial dan interkasi sosial yang intens, hal ini penting dilakukan untuk menghindari tumbuhnya sikap individulistis dan eklusivisme dikalangan kelompok-kelompok sosial.
Melalui tindakan komunikatif dengan bersandar pada rasio subjektif, disamping akan menggugah ruang dialog, bersamaan dengan itu akan terbangun rasa saling kesepahaman, saling mengerti akan keberadaan kita masing-masing. Keberadaan akan berada, apabila ada ditengah-tengah keberadaan yang ada. Jadilah kita ada ditengah keberadaan itu, dan jadikan keberadaan itu menjadikan kita ada bersama-sama. Membangun ”rumah” bersama sebagai wahana komunikasi, interaksi diantara kita menjadi penting dikembangkan. Oleh karena, tidak ada seindah hidup berdampingan secara damai.
BAGAIMANA KITA SEBAGAI WARGA KRISTEN MEMBANGUN MORAL BANGSA
Change We Need! Inilah slogan Barrack Obama ketika berkampanye. Visi perubahan yang didengungkan terbukti menarik simpati orang banyak sehingga ia terpilih menjadi presiden. Ini menunjukkan bahwa orang-orang Amerika sedang jenuh dengan keadaan dan mengharapkan adanya perubahan.
Tidak hanya di Amerika, kita - rakyat Indonesia - juga menginginkan perubahan. Kita tidak puas dengan keadaan sekarang. Kita jenuh dengan krisis multidimensi. Krisis-krisis yang sebenarnya hanyalah manifestasi dari krisis yang lebih dalam, yaitu krisis karakter bangsa.
Sebagai orang yang ber-wawasan dunia Kristen (Christian worldview), perubahan yang kita inginkan tidak hanya terletak dalam narasi sempit kejayaan bangsa Indonesia. Lebih dari itu, kita memandang perubahan itu dalam narasi yang lebih besar. Narasi itu adalah inaugurasi Kerajaan Allah, yaitu hadirnya Allah yang secara aktif memerintah sehingga itu muncul dalam berbagai manifestasi di antaranya shalom dan pembebasan dari penindasan.
Tiap pengikut Kristus dituntut berpartisipasi dalam menghadirkan suasana pemerintahan Allah. Artinya, mereka harus mempraktikan karakter-karakter tandingan yang menjadi terang di tengah bangsa yang gelap ini dan akhirnya bisa menjadi garam yang mempengaruhi karakter (moral) masyarakat.
Sebagai Pemimpin di tengah-tengah gereja yang mempunyai wawasan luas, , bagaimana seharusnya kita berperan dalam pembangunan moral bangsa?
Landasan dari pembangunan moral bangsa adalah adanya kesepakatan mengenai sebuah visi etis tentang bagaimana hidup berdampingan dengan orang lain. Dalam ilmu sosial, ini dikenal dengan modal sosial (social capital). Fukuyama mendefinisikan modal sosial sebagai
“...seperangkat nilai atau norma informal yang dimiliki bersama oleh anggota kelompok yang memungkinkan kerja sama di antara mereka...mencakup nilai-nilai seperti berkata jujur, menunaikan kewajiban, dan taat pada asas timbal balik.

Renungan
Menurut Anda mana yang benar: kasih dan hukum adalah alternatif dalam etika Kristen, atau kasih dan hukum adalah dua sisi dari satu kenyataan yang sama? Dalam pengalaman Anda sendiri, sungguhkah kasih dan hukum berjalan serasi dalam perilaku keseharian Anda?
Nasihat Paulus merupakan gema dan uraian lanjut dari ajaran Tuhan Yesus sendiri. Jika orang sungguh mengasihi Allah dan sesama manusia, maka ia pasti menggenapi semua hukum Allah baik yang mencakup relasi dengan Allah maupun dengan sesama (ayat 8-9). Inti dari hidup kudus dan benar adalah kasih kepada Allah dan sesama. Sebaliknya, inti dari semua perbuatan dosa adalah tidak mengasihi. Lebih tajam lagi, semua pelanggaran hukum Allah terhadap sesama disebabkan oleh kasih yang timpang; kasih yang ditujukan hanya kepada diri sendiri, tetapi tidak didampingi oleh kasih kepada sesama. Sehingga terjadilah hutang kasih, ketimpangan kasih! Karena kasih ditujukan hanya pada diri sendiri, kasih merosot menjadi egoistis dan penuh hasrat liar yang merendahkan orang lain. Karena egoistis, orang melakukan berba-gai perbuatan yang adalah lawan dari kasih kepada sesama. Maka terjadilah pelanggaran hukum dalam wilayah sosial.

Jawaban untuk kejahatan sosial tidak cukup dengan law enforcement (pelaksanaan hukum secara tegas), tetapi harus didorong oleh love enforcement (memberlakukan kasih secara gigih). Hukum bukan sumber etika, tetapi rambu atau kerangka etika. Nafas yang menghasilkan kehidupan etis adalah kasih kepada Allah dan sesama seperti kepada diri sendiri. Apabila kita menekankan pelaksanaan hukum tanpa motivasi kasih, kita akan "kudus" tetapi munafik atau "benar" tetapi legalistis. Sebaliknya menekankan kasih tanpa peduli hukum akan menciptakan kekacauan moral dan kemerosotan kasih menjadi kasih yang egoistis atau hasrat pemuasan nafsu secara liar. Etika Kristen memberi jawaban indah dan kuat. Kita harus melunasi hutang kasih kita kepada sesama; kasih yang lengkap dan utuh ini serasi dengan perilaku manusia terang! Sebagai anak Tuhan, semua dituntut untuk melakukan perbuatan kasih dalam setiap sendi kehidupan bagi sesama manusia. Siapapun itu! Tidak terbatas pada kalangan sendiri, melainkan pada semua orang yang “kebetulan” membutuhkan sentuhan kasih melalui tindakan yang nyata.
Nas perikop ini mengingatkan kita untuk jangan sekali-kali mempertentangkan antara Taurat dengan kasih, melainkan memahaminya sebagai kelengkapan. Orang percaya memang dituntut untuk melaksanakan sesuatu “lebih daripada yang biasanya”, dalam hal ini misalnya mengasihi sesama seperti diri-sendiri setiap hari dan tanpa mengenal batasan eksklusivitas. Sulit? Memanglah. Tapi keyakinan bahwa Roh Kudus yang ada di dalam diri kita pasti mampu memberi kekuatan dalam melaksanakan semua yang menjadi tuntutan. Tentunya di dalam rambu-rambu kasih yang mendasari segala sesuatunya. Amin
Pdt. RHL. Tobing, S.Th. MA
Pertanyaan untuk di bahas dalam Kelompok.
1. Apakah Anda cukup mempercayai orang-orang di sekitar Anda? Apakah mereka dapat dipercayai? Apakah mereka mempercayai Anda? “… Yesus sendiri tidak mempercayakan diri kepada mereka, karena Ia mengenal mereka semua” (Yohanes 2:24). Semua pertanyaan ini dapat menjurus kepada mendorong sikap mencurigai orang yang ada di sekitar kita. Tentu saja tidak. Orang berpandangan bahwa mencurigai itu salah. Ini benar. Tetapi apakah sikap tidak cepat percaya juga mutlak salah? Sebaliknya, apakah sikap cepat percaya itu mutlak benar? Mari kita pertanyakan terus. Apakah Anda dapat mempercayai orang begitu saja?
2. Apakah Anda mau mempekerjakan orang yang tidak dikenal dengan serta merta?
Apakah untungnya percaya dan tidak percaya kepada orang yang ada di sekitar Anda? Apakah kita memahami sejauhmana mempercayai seseorang, bagaimana mempercayainya dan sejauh mana pula dampak dari mempercayai itu bagi diri serta kepemimpinan Anda? Firman Allah menegaskan: “ Sebab jikalau kita, ketika masih seteru, diperdamaikan dengan Allah oleh kematian Anak-Nya, lebih-lebih kita, yang sekarang telah diperdamaikan, pasti akan diselamatkan. Dan bukan hanya itu saja! Kita malah bermegah dalam Allah oleh Yesus Kristus TUHAN kita, sebab oleh Dia kita telah menerima pendamaian itu” (Roma 5:10).

Minggu, 06 Februari 2011

"PESAN DAN KESAN AKHIR TAHUN"

PESAN DAN KESAN UNTUK WARGA DARI HAMBANYA.
SIAPAKAH SAYA…?
Nats : Apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya? (Mazmur 8:5)

Bacaan : Mazmur 8

Lagu yang berjudul Who Am I? [Siapakah Saya?] karangan Mark Hall dari kelompok musik Casting Crowns, dimulai dengan kalimat demikian: "Siapakah diri saya, sehingga Tuhan segala bumi ingin mengetahui nama saya, ingin merasakan luka yang saya alami?"
Dalam lagu ini, Hall membandingkan hidup kita dengan "bunga yang cepat layu, yang muncul hari ini dan lenyap keesokan harinya ... seperti setitik uap air di udara", yang sebentar kelihatan lalu hilang”. Ia merenungkan, "Apabila kita mengerti betapa kecilnya kita sebenarnya dan betapa luar biasanya Allah, maka kasih Allah akan menjadi lebih besar bagi kita."
Saya kemudian teringat akan pertanyaan Daud dalam Mazmur 8. Saat ia merenungkan langit, bulan, dan bintang, ia merasa takjub oleh Allah alam semesta yang menciptakan dan menopang semuanya itu. Dalam perasaan kagum, ia melontarkan pertanyaan, "Apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya?" (ayat 5).

Mengapa kita menjadi objek kasih, perhatian, dan pemikiran Allah? Dalam lagunya, Hall menjawab pertanyaan itu dengan: "Bukan karena siapa saya, namun karena apa yang telah Engkau lakukan; bukan karena apa yang telah saya lakukan, namun karena siapa Engkau." Karena itu jangan ada seorangpun yang menganggap dirinya bijak, kuat dan sempurna, ingat hidup kita hanya sementara, harta kita hanya sementara, milik kita bukan punya kita.
Siapakah Allah? Dia adalah KASIH. Apakah yang telah Allah lakukan? Dia memberikan Putra-Nya yang tunggal Yesus untuk mati bagi kita dan membayar hukuman dosa kita (1 Yohanes 4:7-9). Tidak mengherankan apabila kita ingin berseru bersama sang pemazmur, "Ya Tuhan, Tuhan kami, betapa mulianya nama-Mu di seluruh bumi!" (Mazmur 8:2,10) -

ALLAH MENGASIHI KITA, BUKAN KARENA SIAPA KITA
NAMUN KARENA SIAPA DIA


Tipe Apakah Anda?
Nats : Saudara-saudaraku yang kekasih, jikalau Allah sedemikian mengasihi kita, maka haruslah kita juga saling mengasihi (1Yohanes 4:11)
Bacaan : 1Yohanes 4:11-21

Seseorang pernah berkata, "Ada dua tipe orang di dunia ini. Yang pertama adalah mereka yang masuk ke ruangan dan berkata, "Saya datang!", dan kedua, mereka datang dan yang berkata, "Ah, senang bertemu Anda lagi!"
Betapa berbedanya dua pendekatan di atas! Yang satu berkata, "Lihat saya! Perhatikan saya"; sedangkan yang lain berkata, "Ceritakanlah tentang diri Anda." Yang satu berkata, "Saya orang penting," sementara yang lain berkata, "Andalah yang terpenting." Yang satu berkata, "Dunia ini berputar mengelilingi saya"; tetapi yang lain berkata, "Saya hadir untuk melayani Anda."
Bukankah menyenangkan bila kita dapat menjadi orang tipe kedua, yakni seseorang yang kehadirannya diinginkan oleh orang lain? Seseorang yang berani menyatakan kasih Kristus secara terang- terangan dan tanpa rasa malu?
Perjanjian Baru memberi kita beberapa saran praktis tentang bagaimana caranya menjadi orang yang dapat menunjukkan kasih Kristus. Saran-saran tersebut adalah: Kita diminta untuk memberi hormat kepada orang lain (Roma 12:10), membangun satu sama lain (Roma 14:19), saling memperhatikan (1 Korintus 12:25), saling melayani (Galatia 5:13), saling menolong menanggung beban (Galatia 6:2), saling mengampuni (Kolose 3:13), saling menasihati (1 Tesalonika 5:11), dan saling mendoakan (Yakobus 5:16).

Seharusnya hanya ada satu tipe orang kristiani, yaitu tipe orang kristiani yang "saling mengasihi". Tipe orang seperti apakah Anda? –
ORANG-ORANG YANG MEMILIKI HATI UNTUK ALLAH
JUGA MEMILIKI HATI UNTUK ORANG LAIN
“AYAH, AKU AKAN MENEMUKANMU”
Nats : Kita mengasihi, karena Allah lebih dahulu mengasihi kita (1Yohanes 4:19)
Bacaan : Yohanes 20:11-18

Dalam bukunya Jesus Among Other Gods, Ravi Zacharias bercerita tentang seorang gadis yang tersesat tanpa harapan di dalam sebuah hutan yang gelap dan lebat. Gadis tersebut memanggil-manggil dan berteriak, tetapi percuma saja. Orangtuanya yang kalut dan sekelompok sukarelawan mencarinya dengan cemas. Dan ketika malam tiba, mereka harus menghentikan pencarian.
Keesokan harinya ketika hari masih pagi, ayah gadis itu masuk lagi ke dalam hutan untuk mencarinya dan melihatnya sedang tidur nyenyak di atas sebuah batu. Sang ayah kemudian memanggil namanya dan berlari mendekatinya. Setelah terbangun karena terkejut, gadis itu lalu mengulurkan tangan kepada ayahnya. Ketika sang ayah menyambut dan memeluknya, gadis itu berulang kali berkata, "Ayah, aku menemukanmu!"
Dengan menerapkan cerita ini pada pencarian Maria Magdalena akan Yesus dalam Yohanes 20, Zacharias mengatakan, "Maria menemukan kebenaran yang paling mengejutkan melebihi semua hal ketika ia datang mencari tubuh Yesus. Ia tidak sadar bahwa orang yang ia temui ternyata adalah Dia yang telah bangkit, dan Dia datang untuk mencarinya."
Kita, orang yang memercayai Yesus, terkadang mengatakan "menemukan" Dia. Namun, mengapa kita mencari-Nya terlebih dahulu? Karena, seperti gembala yang pergi ke dalam kegelapan untuk menemukan satu domba yang terhilang, Allah pun mencari kita. Dia menunggu kita untuk menyadari keadaan kita yang terhilang dan mengulurkan tangan kita kepada-Nya. Dia akan menjemput, memeluk, dan memberi kita kedamaian-Nya -
KETIKA KITA MENEMUKAN KRISTUS
KITA MENDAPATI BAHWA KITALAH ORANG YANG TERHILANG ITU
“KEBENCIAN YANG SEMPURNA”
Nats : Hai orang-orang yang mengasihi Tuhan, bencilah kejahatan (Mazmur 97:10)

Bacaan : Mazmur 97

Coba katakan apa yang Anda benci, maka saya dapat mengatakan orang seperti apa Anda. Kebencian dapat menjadi sisi kuat kebajikan, tetapi ada peringatan dengan huruf kapital berwarna merah yang menyertainya: Hati-hati.
Olive Moore, penulis Inggris abad ke-19, menulis kata-kata ini: “Hati-hatilah menggunakan kebencian …. Kebencian adalah hasrat yang membutuhkan seratus kali energi cinta. Pakailah hanya untuk membenci masalah, bukan orang. Pakailah hanya untuk membenci sikap tidak toleran, ketidakadilan, kebodohan. Kebencian akan menjadi kekuatan manakala kita menggunakannya untuk membenci hal-hal di atas. Kekuatan dan kedahsyatannya tergantung pada banyaknya kita memakai kebencian itu.”
Kita cenderung menghambur-hamburkan sikap benci untuk kesalahan dan perbedaan yang remeh. Komentar lawan politik dapat memancing rasa sengit kita. Surat bernada marah untuk editor sering membesar-besarkan hal-hal remeh karena penyakit kebencian kita salah sasaran. Gereja menjadi retak dan pecah ketika kebencian diarahkan kepada orang-orang, bukan pada kekuatan di sekitar kita yang menghancurkan kehidupan dan harapan.
Orang Methodist kuno yang melakukan perjalanan keliling digambarkan sebagai orang-orang yang tidak membenci apa pun selain dosa. Mereka adalah orang yang secara serius melakukan seruan pemazmur, “Hai orang-orang yang mengasihi Tuhan, bencilah kejahatan!” (Mazmur 97:10), dan Nabi Amos yang mendesak pembacanya untuk “membenci yang jahat dan mencintai yang baik” (Amos 5:15) -

JIKA ANDA TIDAK BISA MEMBENCI YANG JAHAT
ANDA TIDAK BISA MENCINTAI YANG BAIK
RHL.T