Senin, 02 Juni 2014

Khotbah Minggu 22 Juni 2014 Mateus 10: 24-39 Thema: Mengakui Yesus di depan Manusia”


Dalam buku kumpulan cerita bermakna, saya membaca sebuah cerita bagus yang menceritakan tentang seorang ibu yang menulis sebuah artikel menarik tentang pengalamannya mendekor ulang rumahnya. Segala sesuatu berjalan dengan lancar sampai suatu hari, suaminya menolak nasihat ahli dekorasi interior yang mereka sewa. Sang suami ingin tetap memasang sebuah lukisan Yesus yang besar pada dinding di ruang tamu.
          Ibu itu mencoba untuk menasihati suaminya agar berpikir ulang, tetapi ia menolaknya dengan keras. Kemudian, setelah diskusi dengannya, sang istri teringat pada sabda Tuhan ini: “Setiap orang yang mengakui Aku di depan orang lain, Aku akan mengakuinya di hadapan Bapa-Ku yang di surga (Mat 10:32).” Perdebatan di antara mereka selesai. Suaminya yang menang.
          Kini, ibu itu mengaku bahwa ia gembira karena suaminya yang menang sebab lukisan itu ternyata mempunyai pengaruh yang luar biasa bagi keluarga dan para tamu. Suatu hari, seorang tamu bgerkunjung dan memandangi lukisan itu. Akhirnya tamu itu berkata kepadanya, “Sebetulnya mata Yesus itu tidak sedang memandang kepada kalian, tetapi ia memandang lewat kalian.”
Dan suatu malam, seorang sahabat yang lain duduk di seberang lukisan itu berkata,  “Aku selalu merasa begitu damai bila berada di rumahmu ini.”
Ibu itu menutup artikelnya dengan berkata, dia tahu orang lain akan tersenyum mendengar kata-katanya itu, bahkan mungkin menertawakannya, tetapi dia tidak peduli. “Inilah yang saya ketahui,” katanya, “Ketika anda mengundang Yesus masuk ke dalam rumahmu, Anda tidak akan menjadi orang yang sama lagi.”
          Saudara/iku terkasih, penginjil Matius dalam bacaan hari ini memberi pesan kepada kita akan 2 hal penting yakni: Teladan dan Ketaatan! Dalam perutusan para murid, Yesus berpesan kepada mereka supaya di dalam menjalankan perutusan mereka harus tetap taat dan setia kepada tugas dan perutusan Yesus; selain itu pula mereka harus mampu untuk menjadi teladan dalam hal cara hidup bagi orang-orang di tempat mereka berkarya.
          Kedua poin ini diharapakan oleh Yesus untuk menjadi keutamaan yang harus dimiliki oleh setiap keluarga Kristiani. Tak terkecuali saudara/i sekalian. Yesus senantiasa mengharapkan agar dalam hidup kita sehari-hari, kita mampu untuk menjadi pewarta kabar sukacita Kristus bagi orang lain; siapapun dia, terlepas dari status kita; baik kita sebagai pelayan umat atau sebagai bapa keluarga, ibu rumah-tangga ataupun sebagai anak dalam keluarga. Pola pewartaan kita tentu harus sesuai dengan status kita masing-masing.
          Pertama, kepada setiap orang tua diharapkan agar menjalankan fungsinya dengan baik; tentu dengan cara memberikan teladan yang baik kepada anak-anaknya. Teladan yang dimaksudkan ialah cara hidup yang baik, keharmonisan yang terjalin antara suami dengan istri atau istri dengan suami, serta rasa cinta dan kasih kepada anak-anaknya. Selain itu pula para orangtua diharapkan memberi nasehat serta pelajaran berharga yang nantinya dapat berguna bagi anak-anaknya untuk tumbuh berkembang menjadi pribadi yang dewasa baik dalam iman, harap dan kasih.  
         Kedua, kepada setiap anak-anak sebagai generasi  Kristiani diharapkan memiliki ketaatan yang mantap kepada orangtuanya. Ketaatan yang dimaksudkan ialah rasa hormat dan patuh kepada orangtua, yang dibarengi oleh rasa pengabdian dan kesadaran bahwa orangtua merupakan perpanjangan tangan dari Tuhan untuk membentuk kita menjadi pribadi yang dewasa dan matang.
Saudara/I Dalam kehidupan sehari-hari betapa sering tanpa kita sadari makna percaya kepada Kristus hanya dihayati sebagai perjuangan spiritualitas untuk menghayati pengajaran-pengajaran Kristus. Sehingga tokoh Yesus Kristus sering hanya dihayati sebagai seorang “guru moral” atau pengajar yang bijaksana dan berpengaruh luas. Padahal kita akan dimampukan untuk melaksanakan seluruh pengajaran dari Kristus, ketika kita memiliki hubungan yang personal dan intim dengan Dia. Ketika dalam kehidupan iman sehari-hari kita mau menerapkan hubungan kita dengan Kristus sebagai seorang mempelai, maka kehidupan kita akan dipenuhi oleh kuasa anugerahNya yang memampukan kita untuk melaksanakan kehendak dan rencana Allah. Karena itu  persekutuan atau relasi yang personal dengan Kristus pada hakikatnya tidak dapat ditawar atau dinegosiasi lagi jikalau kita ingin menanggalkan dan menyalibkan manusia lama yang kita miliki. Bahkan makna relasi kita dengan Kristus harus melebihi relasi dan kasih kita kepada orang-orang yang kita cintai. Di Mat. 10:37, Tuhan Yesus berkata:“Barangsiapa mengasihi bapa atau ibunya lebih dari pada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku; dan barangsiapa mengasihi anaknya laki-laki atau perempuan lebih dari pada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku”.  Perkataan Tuhan Yesus tersebut hendak menegaskan sesuatu yang sangat fundamental, yaitu bahwa Dia memiliki hak untuk memperoleh prioritas yang paling utama sehingga manusia harus mengasihi Dia dengan segenap hati, segenap jiwa dan akal-budinya melebihi kasih mereka kepada orang-orang yang dicintainya seperti kasih kepada ayah, ibu dan anak-anaknya. Bukankah dalam perkataan Tuhan Yesus tersebut menggemakan firmanNya agar manusia mengasihi Allah dengan segenap hati, jiwa dan akal-budinya (Mat. 22:37)? Jadi bukankah terdapat paralelisme gagasan teologis antara ajaran Tuhan Yesus di Mat. 22:37 dengan Mat. 10:37?  Bukankah inti dari Mat. 22:37 dan Mat. 10:37 merupakan panggilan dan dasar pijak bagi umat manusia untuk memprioritaskan diri Kristus sebagai yang paling utama, sehingga setiap orang tanpa terkecuali dengan hati yang tulus mempersekutukan dirinya sebagai seorang mempelai wanita yang sungguh-sungguh mau mengasihi mempelai pria dengan seluruh hidupnya?
                 Kesediaan diri untuk  mempersekutukan dengan Kristus pada satu pihak memberikan karunia bagi kita untuk terus dimampukan melaksanakan kehendak Allah;  dan pada pihak lain mengajak kita untuk berani mengambil pilihan hidup secara tepat. Pilihan hidup yang perlu ditempuh dan dilakukan oleh setiap orang percaya kepada Kristus adalah:
“Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak layak bagi-Ku” (Mat. 10:38).
“Barangsiapa mempertahankan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya, dan barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan memperolehnya” (Mat. 10:39).
 Ungkapan Tuhan Yesus yang menyatakan “barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak layak bagi-Ku” jelas suatu ungkapan yang berkias. Arti “memikul salib” secara harafiah lebih tepat diterjemahkan dengan “memikul palang salib” sebab pada zaman dahulu orang-orang yang dihukum salib dipaksa untuk memikul sebuah balok berat  (crossbeam) ke tempat dia akan dieksekusi. Jadi arti simbolis dalam ucapan Tuhan Yesus tersebut merupakan suatu panggilan agar setiap orang percaya mau mengambil keputusan yang disadari yaitu mau menyangkal diri secara total dan berjalan di belakang Kristus menuju tempat Dia akan dieksekusi mati. Kesediaan mau menyangkal diri berarti pula kesediaan untuk menampik atau menolak berbagai keinginan duniawi yang pada puncaknya rela kehilangan nyawa. Di sinilah kita sering gagal untuk mengikut Kristus dalam arti yang sesungguhnya karena kita sering gagal untuk menolak berbagai keinginan duniawi. Padahal seseorang yang sedang  memikul palang salib senantiasa berjuang dan berupaya sedemikian rupa untuk tetap tegar menuju ke tempat eksekusi! Jadi seharusnya setiap orang Kristen yang ingin memperoleh kehidupan sebagai manusia baru di dalam Kristus harus bersedia  menyalibkan manusia lamanya dengan jalan senantiasa mau menyangkal diri.  Tapi kehausan kita untuk serakah, egois, iri-hati dan memperoleh sebanyak-banyaknya kenikmatan duniawi yang menyebabkan kita tidak tahan untuk berjalan memikul palang salib di belakang Kristus.
 Perkataan Tuhan Yesus yang menyatakan: “Barangsiapa mempertahankan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya, dan barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan memperolehnya” (Mat. 10:39) sering disalahpahami maknanya. Dalam hal ini Tuhan Yesus tidak mengatakan bahwa hidup atau nyawa seseorang itu tidak bernilai sehingga tidak perlu diperjuangkan dan dipertahankan. Sebab yang dimaksudkan oleh Tuhan Yesus justru mau menegaskan bahwa hidup atau nyawa manusia begitu bernilai, karena itu janganlah hidup itu dipertahankan dengan cara-cara yang merugikan nilai dan martabat dirinya. Karena betapa sering manusia berupaya untuk “mempertahankan nyawa” (hidupnya) dengan cara-cara yang tidak etis, tidak bermoral dan bersifat egosentris. Karena keadaan yang sulit, seseorang merasa berhak untuk merampas hak milik orang lain. Karena kemiskinan, seseorang merasa berhak melakukan perbuatan tercela. Karena merasa dirinya kuat dan berkuasa, maka seseorang sering merasa berhak untuk menindas dan menekan sesamanya yang lemah. Sikap mereka secara duniawi tampaknya berhasil mempertahankan hidup, tetapi sesungguhnya mereka telah menghancurkan nilai-nilai dan makna dari hidupnya yang paling esensial. Mereka gagal total menghargai kehidupan atau nyawanya sendiri dengan cara merebut atau merampas hak hidup orang lain. Itu sebabnya mereka tetap hidup sebagai manusia lama yang tetap dibelenggu oleh kuasa dosa. Tetapi hidup mereka akan berubah secara drastis dan dapat menjadi manusia baru di dalam Kristus, ketika mereka mau menanggalkan pola hidupnya yang lama dengan cara mempersekutukan diri secara personal dengan Kristus; yaitu ketika mereka bersedia kehilangan nyawa karena Kristus. Mereka bersedia menolak godaan dan tawaran duniawi dengan tetap konsisten berjalan di belakang Kristus. Jadi dalam persekutuan dengan Kristus, seseorang yang kehilangan hidupnya secara duniawi justru bertujuan supaya mereka dapat mengalami suatu kehidupan yang bermakna dan otentik.
 Jika demikian, apakah saudara saat ini secara pribadi telah memiliki persekutuan dengan Tuhan Yesus? Ataukah saudara masih menempatkan Kristus sekedar sebagai guru moral atau pengajar yang bijaksana, tetapi saudara belum memiliki hubungan yang personal dengan Dia? Apabila kita belum memiliki hubungan yang personal dan khusus dengan Tuhan Yesus, maka kasih kita kepadaNya tidak pernah melebihi kasih kita kepada orang-orang yang kita cintai. Mereka terlalu kita cintai, tetapi pada sisi yang lain sebenarnya kita telah menjerumuskan hidup kita dan orang-orang yang kita cintai kepada kuasa dunia ini.  Tetapi sebaliknya ketika kita sungguh-sungguh mengasihi Tuhan Yesus dengan segenap hati dan kasih kita kepadaNya melebihi semua hal di dunia ini, kita justru akan dimampukan untuk mengasihi secara benar setiap orang yang ada di sekitar kita. Bagaimanakah sikap saudara sekarang? Amin. Dari berbagai sumber.


Tidak ada komentar: