Jumat, 25 Desember 2015

Khotbah Natal II Yeremia 26 : 12 – 15


Nabi Yeremia tampil sebagai teladan, pemimpin suruhan Tuhan dengan memiliki integritas pribadi kuat. Ketika diancam untuk dibunuh karena memberitakan kebenaran Firman Tuhan, ia tidak gentar atau mundur dari pemberitaannya. Yeremia tidak saja sadar akan statusnya sebagai utusan Allah, tetapi juga berusaha mengawal status itu agar tidak gugur, sekalipun menghadapi ancaman maut. Sebuah pribadi yang konsekwen memberitakan pertobatan semesta, agar umat dan warga kota selamat.
Umat Tuhan dengan pongahnya mengandalkan kemegahan kota, kesalehan ibadahnya dan lebih suka murtad daripada bertobat. Sadar atau tidak, umat dan masyarakat sedang menciptakan malapetaka. Fatal memang! Namun nyatanya begitu! Mari para pendeta, binalah kesadaran pribadi, lakukan tugas panggilanmu dengan setia, mungkin umat dan masyarakat mau bertobat. Dengan jalan itu Tuhan mau menyesal akan malapetaka yang telah dirancang-Nya dan berbalik memulihkan umat dan masyarakat dengan cinta kasih-Nya.
1.Latar belakang dan kehidupan Yeremia di zamannya. Pada dekade terakhir pemerintahan Manasye, pemerintahan terlama dan tersuram dalam sejarah Yehuda, lahirlah dua anak laki-laki sebagai pemberian Allah kepada bangsa yang sedang dilanda kemerosotan dan kehancuran moral itu. Pemerintahan yang berlangsung sekitar setengah abad ini diwarnai dengan maraknya kembali praktik penyembahan dewa-dewa Kanaan dan Asyur, praktik kuasa-kuasa gelap, pengorbanan manusia (termasuk dalam keluarga raja sendiri) dan sistem peradilan yang bobrok. Semua ini menjadi bahan cemoohan, sebagaimana tertulis dalam 2 Raja-raja 21:16, “Lagipula Manasye mencurahkan darah orang yang tidak bersalah sedemikian banyak, hingga
dipenuhinya Yerusalem dari ujung ke ujung…”
Kedua anak laki-laki pemberian Tuhan itu adalah Yosia, yang lahir tahun 648 sM, dan Yeremia, yang mungkin lebih muda tapi masih sebaya (ketika dipanggil Tuhan menjadi nabi tahun 627, Yeremia enggan menerima panggilan itu karena merasa terlalu mudah; dan pelayanannya yang sulit selama lebih 40 tahun menunjukkan bahwa ia memang masih muda sewaktu dipanggil menjadi nabi). Sebagai raja yang bersemangat reformis dan nabi yang tegas, keduanya membuka peluang terbaik sekaligus harapan terakhir bagi pembaruan agar negeri itu bisa tetap sebagai kerajaan Daud.
Yeremia adalah anak Hilkia yang tinggal di Anatot. Hilkia berasal dari keturunan imam-imam. Yeremia dipanggil untuk mengabarkan hukuman yang akan datang oleh Allah atas bangsaNya dan yang akan dilaksanakan dengan jatuhnya Yehuda dan Yerusalem dengan pembuangan ke Babylon.
Dalam kitab Yeremia, kita menemukan bahwa Yeremia adalah hamba Tuhan yang senantiasa bergumul untuk melaksanakan panggilannya. Dia sering merasa seorang diri menghadapi nabi-nabi palsu. Dia ditolak dan difitnah oleh para pendengarnya. Beberapa Yeremia dipenjarakan. Dua kali nyaris meninggal. Tekanan yang dialaminya hampir membuat ia frustasi (lih. Yeremia 20:7-18). Namun menghadapi apapun, Yeremia tetap hidup sesuai dengan firman Tuhan yang dipercayakan kepadanya.
Ketika Yeremia dipanggil, pada saat itu kekuatan Asyur sedang hancur dan kemerdekaan bagi Yehuda sangatlah besar peluangnya. Namun optimisme itu tidak dibarengi dengan realita bangsa Yehuda ketika itu. Yeremia melihat banyak hal yang salah di dalam bangsanya. Mereka telah mengabaikan hukum-hukum Perjanjian Tuhan dan harus membayar harga ketidaktaatan mereka. Suatu hari Yeremia melihat pohon badam berbunga. Kata Ibrani untuk badam berbunyi seperti sebuah kata Ibrani lainnya yang berarti mengawasi. Yeremia melihat pohon ini sebagai tanda bahwa Allah mengawasi umatNya, mencari waktu yang tepat untuk melaksanakan keputusan penghancurannya (Yer.1:11-12). Ketika ia melihat periuk yang berisi air mendidih di atas api yang diembus oleh angin dari utara, ia menyadari bahwa di dalamnya juga ada berita. Murka Allah telah hampir menimpa Yehuda, “…Dari utara akan mengamuk malapetaka menimpa segala penduduk negeri ini. Sebab sesungguhnya, Aku memanggil segala kaum kerajaan sebelah utara, demikianlah firman TUHAN, dan mereka akan datang dan mendirikan takhtanya masing-masing di mulut pintu-pintu gerbang Yerusalem, dekat segala tembok di sekelilingnya dan dekat segala kota Yehuda. Maka Aku akan menjatuhkan hukuman-Ku atas mereka…” (Yer.1:13-16).
Tetapi, tantangan Yeremia bukan hanya dari para musuhnya. Ia juga memiliki masalah sendiri dengan berita yang diberikan Allah kepadanya. Kalau berita itu sungguh benar, mengapa tidak seorang pun menerimanya? Bagaimanapun, Yeremia tidak menolak panggilan Allah, meskipun ia ingin melakukan itu. Ia membiarkan dirinya tidak dipercaya dan diolok-olok, dan telah terlibat dalam perdebatan yang tidak kunjung berakhir (Yer.15:10-21). Yeremia telah menyerahkan kesenangan manusia yang umum dimiliki orang, yaitu rumah tangga dan keluarga demi menjadi juru bicara Allah, dan ia merasa Allah telah menipunya. Yeremia juga harus belajar sesuatu yang sulit, dan beberapa bagian yang paling menarik dari kitabnya diisi dengan pemeriksaan diri seperti ini. Tetapi, ia juga belajar pelajaran baru yang penting karena dari krisis kehidupannya sendiri ia menemukan arti mempercayai Tuhan secara pribadi dan hidup.
2. Nubuat yang berani dan akibatnya (26:1-24).
a. Nubuat (26:1-6).  Laporan yang lebih rinci atau versi yang lebih panjang dari khotbah epistel ini, terdapat dalam Yer.7. Nas ini menunjukkan awal pemerintahan Yoyakim (609-598), dan memang keadaan pada saat itu serba tidak menentu. Hanya dalam tiga bulan setelah raja Yosia terbunuh dalam pertempuran, penggantinya telah ditawan ke Mesir, dan kemudian raja ketiga, orang yang sangat ceroboh, diangkat untuk memerintah negeri itu. Di tengah situasi demikian, menyampaikan peringatan keras tentang datangnya bencana yang bisa jadi lebih buruk lagi, sama dengan menyodorkan diri untuk dibunuh, apalagi ketika peringatan-peringatan itu menyangkut Bait Allah dan kota suci, yang umumnya dianggap tak dapat diganggu gugat. Malahan, Jika kamu tidak mau mendengarkan Aku (Tuhan),…maka Aku akan membuat rumah ini sama seperti Silo, dan kota ini menjadi kutuk bagi segala bangsa di bumi (Yer.26, 4,6).
Inilah yang dapat kita lihat dari sikap Yeremia, berani melawan arus. Sudah tahu bahwa persoalan sedang dalam keadaan parah, namun kehendak Tuhan harus disampaikan. Dan peringatan itu juga menyangkut sesuatu yang tidak dapat diganggu gugat, tentang Bait Allah dan kota suci.
Sekali waktu pernah Francis Schaefer mengatakan “I do what I think and I think what I believe”, saya melakukan apa yang saya pikir dan apa yang saya pikir itulah yang saya percaya. Kepercayaan terimplikasi pada pemikiran dan pemikiran itu terimplikasi pada tindakan. Tindakan akibat percaya, itulah yang dilakukan oleh Yeremia. Percaya kepada Firman Tuhan menumbuhkan ketaatan (ciri dari seorang ‘the true follower’).
Sebagaimana Kristus bukan sekedar berteori tetapi Dia menjalankan teori yang Ia ajarkan tersebut dalam kehidupan-Nya. Demikian juga Yeremia mengisyaratkan banyak hal, terutama dalam kemauannya menyampaikan nubuat tentang masa depan bangsa Yehuda. Tindakannya mengimplementasikan ketaatan akan kehendak Tuhan melebihi kenyaman diri.
Untuk itu, pengikut-pengikut Kristus saat ini harus mengubah konsep berpikir atau paradigma yang salah dan kembali pada kebenaran, yaitu:
Pertama, mengarahkan pandangan mata kita hanya kepada kehendak Tuhan.Pada umumnya, saat masalah datang, manusia selalu memandang ke bawah akibatnya kita selalu melihat dan merasakan kesulitannya saja sebab kita telah terjepit oleh kondisi. Berbeda halnya kalau kita memandang pada Tuhan maka percayalah, bersama Tuhan, segala kesulitan tersebut dapat kita lewati sebab kita tahu bahwa semuanya itu adalah kehendak Tuhan dan demi untuk kemuliaan nama-Nya.
Kedua, menguji hati apakah kita mempunyai motivasi yang bersih. Itu telah dibuktikan oleh Yeremia, dengan tidak memikirkan upah untuk menjadi rohani, tetapi melakukannya sebagai kewajiban. Orang lain tidak tahu apa motivasi kita sebab ada kemungkinan sepertinya kita mempunyai motivasi rohani namun sesungguhnya di balik motivasi yang “rohani“ itu ada motivasi duniawi yang mengikut di belakangnya.
Ketiga, mempersiapkan hati untuk segala kemungkinan yang terburuk yang mungkin terjadi, prepare for the worst. Kalau kita tidak mempunyai kesiapan hati maka saat kesulitan itu datang, kita akan pergi dan meninggalkan Tuhan. Mengikut yang dimaksud oleh Tuhan adalah mengikut yang selama-lamanya bukan sekedar mengikut ketika keadaan menyenangkan saja.
Bagaimana menjadi seorang pengikut Tuhan sejati? Ada tiga aspek yang perlu kita perhatikan:
– Total Service. Adanya sikap yang sepenuh hati, total service. Tuhan menuntut suatu total comitment, jangan mengharapkan keuntungan. Melakukan kehendak Tuhan berarti kita turut melakukan pekerjaan dahsyat dan mulia karena itu, Tuhan menuntut sikap pelayanan yang sepenuh hati.
Semangat materialisme telah mencengkeram pikiran kita, maka sesungguhnya, orang bukan total komitmen lagi, dan ada kecenderungan untuk melirik kepada allah (harta, uang, kehormatan dll) seperti yang dilakukan oleh bangsa Yehuda.
– Single Authority. Seorang yang the true follower maka hatinya selalu terarah pada Tuhan. Mengikut Tuhan berarti kembalinya kita pada otoritas tunggal, yaitu Tuhan sebagai pemegang otoritas tertinggi.
Hendaklah kita sadar bahwa kita harus kembali kepada Tuhan sebagai single authority yang mengontrol hidup kita sebab tidak ada siapapun atau apapun di dunia ini yang dapat memimpin dan mengarahkan hidup kita. Hal ini seharusnya menyadarkan kita, kita tidak perlu kuatir dan cemas akan hidup kita. Mengikut Tuhan membutuhkan kesadaran bukan fanatisme tetapi ketaatan karena kita tahu siapa Tuhan yang kita ikuti tersebut, yaitu Kristus yang telah menebus dan membayar kita dengan harga yang mahal, yaitu dengan darah-Nya dan itu telah lunas di bayar.
– Kerelaan Hati. Tuhan menempatkan anak-anak-Nya di tengah-tengah kawanan serigala tapi ia haruslah tetap menjadi seekor domba dengan demikian ia menjadi terang dunia. Inilah gambaran Kekristenan tentang discipleship of Christ. Maka kerelaan hati untuk hidup dalam situasi yang bersifat kontras di tengah dunia menjadi bagian yang harus dilakukan oleh pengikut Tuhan.
b. Harga yang harus dibayar (ay.7-11). Orang yang mendengarkan khotbah Yeremia ternyata adalah orang-orang yang punya pengaruh. Mereka adalah para imam, para nabi dan seluruh rakyat. Seluruh elemen orang-orang Yehuda ada di sana. Khotbah itu tidak mengenakkan telinga para pendengar. Mereka marah, dan sepertinya khotbah yang tidak sesuai dengan keinginan hati semua orang yang ada di sana. Ini menjadi pertanyaan besar bagi kita, kenapa mereka harus marah? Ternyata jelas seperti dikatakan di atas, Yeremia berkhotbah tentang kutuk bagi mereka kalau tidak bertobat dan bila mereka tidak tunduk dan mendengarkan Tuhan. Apalagi itu dikatakan di masa-masa sulit yang dihadapi oleh bangsa itu. Para imam, nabi dan seluruh rakyat tidak terima khotbah yang “tidak enak didengar”, mereka mau khotbah yang menyenangkan dan melambungkan angan-angan, khotbah yang sesuai dengan selera mereka.
Mengatakan bahwa bangsa itu akan menerima kutuk, mungkin memang membuat kuping memerah. Namun, dari sisi Yeremia, itu harus disampaikan, bila tidak, hancurlah bangsa itu. Lagipula, menurut Tuhan, mana tahu dari mereka yang mendengar khotbah itu akan merubah tingkah lakunya (ay. 3) sehingga Tuhan akan mengurungkan niatnya untuk menghukum bangsa itu.
Dalam hal ini, kita melihat bagaimana Yeremia melakukan tugasnya sebagaimana itu memang harus dilakukan oleh umat percaya yaitu menegor kesalahan orang. Dalam Yehezkiel 33:7-9 “Dan engkau anak manusia, Aku menetapkan engkau menjadi penjaga bagi kaum Israel. Bilamana engkau mendengar sesuatu firman dari pada-Ku, peringatkanlah mereka demi nama-Ku. Kalau Aku berfirman kepada orang jahat: Hai orang jahat, engkau pasti mati! — dan engkau tidak berkata apa-apa untuk memperingatkan orang jahat itu supaya bertobat dari hidupnya, orang jahat itu akan mati dalam kesalahannya, tetapi Aku akan menuntut pertanggungan jawab atas nyawanya dari padamu. Tetapi jikalau engkau memperingatkan orang jahat itu supaya ia bertobat dari hidupnya, tetapi ia tidak mau bertobat, ia akan mati dalam kesalahannya, tetapi engkau telah menyelamatkan nyawamu”.
Demikian juga Paulus pernah menasihatkan hal serupa kepada Timotius,“Beritakanlah firman, siap sedialah baik atau tidak baik waktunya, nyatakanlah apa yang salah, tegorlah dan nasihatilah dengan segala kesabaran dan pengajaran” (2 Timotius  4:2).
Memberitakan Firman bukanlah pilihan tetapi keharusan, kewajiban yang harus dilakukan (1 Kor.9:16c “Sebab itu adalah keharusan bagiku. Celakalah aku, jika aku tidak memberitakan Injil”).
Sekedar memberitakan, mungkin tidaklah persoalan besar. Namun pemberitaan, khotbah, tegoran, pengajaran menjadi persoalan ketika hal yang dilakukan itu dipertanyakan. Oleh para imam, nabi dan seluruh rakyat Yehuda dengan jelas menyatakan bahwa Yeremia harus mati (ay. 8). Mati, adalah hukuman yang layak bagi Yeremia menurut mereka, kenapa? Karena menurut mereka Yeremia telah menghujat Tuhan, menyatakan nubuatan (yang menurut mereka belum tentu kebenarannya) akan kutuk kepada bangsa itu (umat pilihan lagi) di Bait Allah.
Persoalan yang dihadapi oleh Yeremia kini bukan lagi hanya sekedar mempertanggungjawabkan khotbahnya, tetapi memperjuangkan akibat dari ketaatan. Ketaatan itu ternyata harus dibayar. Ya, dibayar dengan ancaman kehilangan nyawanya, harus mati. Maka ada sebuah pernyataan yang menarik untuk kita, “to accept Christ costs nothing, to follow Christ costs something, but to serve Christ costs everything”.
c. Setia kepada pengutusan Tuhan dan memasrahkan diri kepada Tuhan (ay. 12-14). Menerima reaksi yang demikian di awal pelayanannya tentu membuat Yeremia gentar dan takut. Tapi keadaan ini tidak membuat Yeremia berdiam diri, sebaliknya ia mengajukan pembelaannya (12-15). Pembelaan diri ini tidak dimaksudkan untuk mendapatkan pengampunan, karena dia memahami benar bahwa secara manusia musuh-musuhnya mempunyai kekuasaan dan kekuatan untuk membunuhnya. Tapi ia pun yakin bahwa hidupnya ada di tangan Tuhan. Pembelaan diri Yeremia ternyata agak memberi kelegaan, sehingga para pemuka dan seluruh rakyat memutuskan untuk membatalkan hukuman mati bagi Yeremia, karena mereka mengetahui bahwa berbicara atas nama Allah bukan merupakan pelanggaran hukum yang berat (16-18). Mereka juga takut ditimpa malapetaka karena membunuh seorang nabi Allah (19).
Namun apakah pembebasan Yeremia ini merupakan suatu tanda bahwa bangsa Yehuda terbuka hatinya terhadap firman-Nya? Tidak sama sekali. Peristiwa ini hanya memperlihatkan bahwa Allah tidak mengizinkan Yeremia dibunuh, sehingga tidak ada seorang pun yang berkuasa menyentuh nyawanya. Perlindungan dan jaminan Allah atas hidup hamba-Nya memang tidak selalu berupa keselamatan dari tangan musuh-musuh-Nya. Contohnya seorang nabi yang lain, Uria, yang mewartakan berita yang sama dan dihukum mati oleh raja Yoyakim (lih. Yer.26:20-23).
3. Patut kita renungkan: Ketika kita memberitakan firman-Nya, berbagai reaksi akan timbul. Ada yang menganggapnya sebagai angin lalu, ada pula yang menentang dan menolaknya dengan sengit, namun ada juga yang menerimanya. Ada pemberita firman-Nya yang dilindungi oleh Allah. Namun ada pula yang diizinkan Allah untuk dibunuh oleh musuh-musuh Injil. Satu-satunya jaminan bagi Kristen yang mau menjadi seorang Yeremia adalah bahwa Allah berkuasa mutlak atas hidup mati hamba-Nya dan firman-Nya harus diperdengarkan. Siapkah kita?
Kehidupan umat percaya adalah senantiasa berpola kepada diri Kristus yang bersedia wafat untuk menghasilkan kualitas kehidupan yang  baru. Seperti Kristus, selaku umat percaya kita terpanggil untuk berkurban diri (sacrifice) bagi keselamatan sesama. Dengan demikian kita juga terpanggil untuk membela, melindungi dan memberdayakan setiap sesama yang menjadi korban (victim) kesewenang-wenangan atau ketidakadilan. Panggilan iman tersebut akan menjadi efektif dalam kehidupan kita manakala kita senantiasa belajar menjadi taat dari apa yang kita derita. Jika demikian apakah hati kita kini telah diukirkan firman Kristus dan kasihNya, sehingga seluruh pelayanan dan kehidupan kita dikuasai oleh kehendakNya? Amin.
Dari Berbagai Sumber



Tidak ada komentar: